Jonathan Spyer, seorang jurnalis Zionis yang dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, kembali memicu kontroversi. Kali ini, ia mempublikasikan foto dirinya bersama pasukan pemerintah yang disebut sah di Aden, Al-Dhale, dan Abyan, tepat di garis depan pertempuran melawan kelompok Houthi Ansar Allah di Yaman.
Spyer bukanlah sosok asing dalam dinamika politik dan militer Timur Tengah. Lahir dan dibesarkan di London dari keluarga berdarah Yahudi Rusia dan Asia Tengah, ia kemudian beremigrasi ke Israel pada 1991. Latar belakang pendidikannya cukup bergengsi, dengan gelar doktor hubungan internasional dari London School of Economics serta master politik Timur Tengah dari SOAS, London.
Karier militernya bermula ketika bergabung dengan Brigade Lapis Baja 188 Angkatan Pertahanan Israel pada awal 1990-an. Sebagai prajurit cadangan, ia ikut serta dalam Perang Lebanon 2006. Dalam perang itu, tank yang ditumpanginya sempat dihantam rudal Kornet, sebuah pengalaman yang membentuk pandangannya tentang konflik bersenjata.
Sejak saat itu, Spyer beralih ke jalur jurnalisme dan analisis keamanan. Ia pernah bekerja di kantor Netanyahu, kemudian melanjutkan karier sebagai analis lepas untuk Jane’s Information Group serta kolumnis di The Jerusalem Post. Kini ia menjabat direktur riset di Middle East Forum dan fellow di Jerusalem Institute for Strategy and Security.
Keterlibatan Spyer di berbagai front konflik membuatnya memiliki rekam jejak yang luas. Ia pernah meliput peristiwa di Suriah dan Irak, khususnya di wilayah Kurdi, serta menulis buku berjudul Days of the Fall yang mendokumentasikan kejatuhan ISIS. Bukunya itu menjadi salah satu referensi penting bagi pembaca Barat mengenai perang di Suriah dan Irak.
Namun, jejaknya tidak selalu mulus. Pada 2020, Spyer sempat dilarang masuk Amerika Serikat dengan alasan pernah berhubungan dengan organisasi teroris, merujuk pada interaksinya dengan pejabat Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Meski larangan itu kemudian dicabut, kasus ini meninggalkan tanda tanya mengenai kedekatannya dengan kelompok bersenjata non-negara.
Kini kehadirannya di Yaman menimbulkan pertanyaan baru. Kehadiran seorang jurnalis yang memiliki latar belakang militer Israel di medan perang yang begitu sensitif jelas mengundang sorotan, terlebih karena Yaman adalah salah satu arena konfrontasi regional paling panas.
Dalam foto-foto yang dipublikasikannya, Spyer tampak akrab dengan tentara pemerintah Yaman yang mendapat dukungan koalisi pimpinan Saudi. Kehadiran sosok sepertinya di garis depan dianggap sebagian pihak sebagai bentuk legitimasi terhadap intervensi asing dalam konflik Yaman.
Di sisi lain, sepak terjang Spyer mencerminkan bagaimana individu dengan latar belakang Zionis aktif menembus berbagai arena konflik di dunia Arab. Dari Lebanon, Suriah, Irak, hingga kini Yaman, ia hadir bukan hanya sebagai pengamat, melainkan juga sebagai bagian dari narasi politik yang lebih besar.
Spyer dikenal tidak segan menampilkan bukti-bukti sensitif. Pada 2014 misalnya, ia melaporkan dugaan penggunaan senjata kimia di Suriah. Ia juga sempat bergabung dalam perjalanan dengan milisi Syiah Irak, Kataib Hizbullah, bahkan mewawancarai Abu Mahdi al-Muhandis, tokoh yang kemudian terbunuh dalam serangan drone Amerika.
Langkahnya memasuki Suriah pada 2017 dengan paspor Inggris juga mengundang polemik. Saat itu ia menyamar sebagai simpatisan pemerintah Suriah, mewawancarai pejabat tinggi, dan berfoto bersama menteri kabinet. Kontroversi tersebut berujung pada pemecatan Menteri Informasi Suriah karena dianggap membiarkan seorang warga Israel masuk.
Jejak aktivitasnya juga merambah Ukraina, di mana ia hadir saat protes Maidan 2013 serta meliput pertempuran di Donbas pada 2022 dan 2023. Spyer kerap menempatkan dirinya di episentrum konflik global yang berhubungan dengan kepentingan Barat dan Israel.
Spyer masuk jaringan Syiah untuk menghantam kelompok Sunni, di Suriah dia masuk jaringan Kurdi untuk menghantam Arab dan di Yaman dia masuk ke jaringan pemerintahan untuk menghantam Syiah Houthi?
Ia juga aktif melobi agar Garda Revolusi Iran (IRGC) dan milisi-milisinya ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Inggris. Perannya dalam memberi bukti di parlemen Inggris menegaskan dirinya bukan sekadar jurnalis, melainkan juga aktor dalam dinamika geopolitik.
Keterlibatannya di Yaman menunjukkan pola yang sama: menghadirkan narasi, mendokumentasikan konflik, sekaligus menyalurkan kepentingan tertentu melalui reportase. Spyer seolah menjadi penghubung antara kepentingan militer, analisis keamanan, dan opini publik di Barat.
Meski demikian, kehadirannya di medan perang Yaman tetap menimbulkan kegelisahan. Yaman adalah salah satu wilayah dengan sensitivitas tinggi, di mana konflik melibatkan dimensi regional, ideologi, hingga kepentingan global. Kehadiran seorang Zionis di garis depan perang ini dapat memantik kontroversi baru.
Sebagian pengamat menilai, kehadiran Spyer menegaskan betapa kompleksnya konflik Yaman. Perang ini bukan hanya urusan lokal antara pemerintah dan Houthi, melainkan bagian dari pertarungan narasi internasional yang melibatkan aktor-aktor di luar kawasan.
Spyer tampaknya menyadari betul posisi uniknya. Dengan pengalaman di banyak medan perang, ia terus menempatkan dirinya sebagai saksi langsung. Namun, jejak langkahnya juga memperlihatkan bagaimana batas antara jurnalisme, advokasi politik, dan keterlibatan militer bisa sangat tipis.
Pada akhirnya, publikasi fotonya di Aden, Al-Dhale, dan Abyan tidak hanya menambah daftar panjang kiprahnya, tetapi juga memperlihatkan bahwa konflik Yaman kini masuk dalam radar media Zionis. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai agenda yang lebih besar di balik kehadiran Spyer.
Jejak Spyer mirip Catherine Perez-Shakdam yang sempat mualaf dan memata-matai para mulla Iran di rumah mereka. Dia diperkirakan menjadi pihak yang memberikan koordinat tempat tinggal para petinggi Iran ke Israel yang menjadi sasaran pemboman Israel dalam serangan terakhir.
Apapun jawabannya, satu hal jelas: Jonathan Spyer adalah sosok yang terus muncul di persimpangan konflik global. Dari Lebanon ke Suriah, dari Irak ke Yaman, ia selalu hadir di tempat yang rawan. Keberadaannya menegaskan bahwa perang di Timur Tengah tidak hanya diperebutkan di medan tempur, tetapi juga dalam arena narasi internasional.
No comments:
Post a Comment